Sebagai negara yang masih mempertahankan warisan budaya nenek moyang, setiap wilayah di Indonesia pasti memiliki kisahnya sendiri, tidak terkecuali Desa Tanah Bawah. Desa yang berada di Kecamatan Puding Besar, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini masih memegang teguh ajaran dan kisah-kisah yang diturunkan oleh nenek moyangnya dari generasi ke generasi. Kisah ini tidak hanya dapat dijadikan sebagai pengingat saja tetapi juga dapat menjadi pembelajaran bagi penerus di masa yang akan datang.
Sebelum diberi nama Tanah Bawah, desa ini awalnya bernama Tanah Jeruk 2. Hal ini karena desa ini berlokasi di wilayah Tanah Jeruk dan berdekatan dengan Desa Tanah Jeruk 1 yang saat ini bernama Desa Nibung. Diberi nama demikian, karena pada saat pertama kali di temukan wilayah ini ditumbuhi pepohonan jeruk yang rimbun sehingga untuk memudahkan dalam mengidentifikasi wilayah ini,disematkanlah nama Tanah Jeruk. Sayangnya, karena sempat terjadi kekacauan, wilayah Tanah Jeruk hanya tersisa Desa Tanah Jeruk 2 saja.
Dulunya, Desa Tanah Bawah berada di tepat tengah wilayah dan dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Namun, ketika masa kolonialisme, pemerintah Belanda menggeser daerah pemerintahan ke sebelah timur. Tidak hanya itu, pemberian nama “Tanah Bawah” sebagai pengganti nama “Tanah Jeruk” juga diberikan pada saat pemerintah Belanda mengusai wilayah Bangka saat itu.
Salah satu hal yang menarik perhatian dari desa ini adalah tulisan “PiawangMecahTimbek” yang terletak pada tengah logo Desa Tanah Bawah. Tulisan tersebut dibubuhkan di dalam logo tentunya bukan tanpa maksud melainkan terdapat legenda yang hingga kini masih dipercayai masyarakatnya. “PiawangMecahTimbek” merupakan kata dalam bahasa lokal yang berarti piala atau piagam perjanjian damai yang mampu menghentikan perselisihan. Hal ini terjadi karena pada zaman dahulu sebelum pemerintahan Indonesia terbentuk, Desa Tanah Bawah dan sekitarnya sempat mengalami perselisihan.
Pada masa itu, masyarakat setempat masih mempercayai kekuatan magis di luar kemampuan manusia. Perselisihan ini terjadi akibat salah satu aliran sungai di Desa Tanah Bawah bernama Sungai Jeruk, yang saat ini bernama Sungai Upang, didiami oleh hewan yang dipercayai masyarakat memiliki kekuatan magis, yakni buaya. Dihadirkanlah tiga unsur perwakilan pemimpin, yakni wakil kebatin atau dukun adat, wakil orang alim, dan wakil pemerintahan untuk mencari pihak yang akan menjaga sungai tersebut. Hal ini karena makhluk tersebut berpotensi untuk menyerang umat manusia. Bahkan, dipercayai mampu membuat kerusakan di bumi.
Ketiga unsur ini berselisih untuk mencari siapakah yang paling tepat dan paling kuat untuk menjaga wilayah ini. setelah berlangsung dalam waktu yang lama, ketiga unsur pemimpin tersebut menemukan kesepakatan bahwa Desa Nibung akan bertugas menjaga sungai dan segala isinya, sedangkan Desa Tanah Bawah akan bertugas menjaga daratan. Persetujuan ini akhirnya disepakati melalui perjanjian perdamaian bernama PiawangMecahTimbek.Perjanjian ini dibuat dengan tujuan untuk menjaga persatuan dan gotong royong demi menjaga umat manusia dengan Tanah Bawah sebagai pusatnya.
Walaupun sarat dengan unsur magis, “PiawangMecahTimbek” ini tetap dilestarikan hingga kini karena memiliki nilai yang dipercayai oleh masyarakat secara turun temurun. Masyarakat Tanah Bawah percaya bahwa selama semangat gotong royong masih dijunjung dengan baik maka bersatunya masyarakat walaupun memiliki latar belakang yang berbeda, akan mampu menjaga umat manusia, khususnya warga Desa Tanah Bawah. Oleh karena itu, nilai kekeluargaan di antara masyarakat masih terasa hingga saat ini. Dengan begitu, masyarakat percaya, walaupun zaman terus mengalami perubahan dan perkembangan dengan dampak yang luar biasa hebatnya, nilai-nilai yang sejak lama diturunkan nenek moyang ini harus terus dijaga keberadaannya agar nilainya tidak mudah tergantikan.
Attachment | Size |
---|---|
Tanah Bawah.jpg | 67 KB |